Jumat, 11 Maret 2011

PROFILE : I WAYAN BELAWAN


 I Wayan Balawan bukan hanya sosok dalam industri musik yang seperti orang-orang kenal--gitaris yang andal dan unik dengan teknik tapping. Lebih dari itu, ia memiliki misi mengembangkan dan mengenalkan musik tradisional Bali, baik kepada publik dalam negeri, termasuk kaum muda Bali sendiri, maupun publik internasional.

Balawan lahir pada 9 September 1973 di Batuan, Sukawati, Gianyar (Bali), dan tumbuh dalam keluarga besar seniman gamelan tradisional Bali. Salah seorang pamannya memiliki sanggar seni tradisional Bali. "Dari umur enam tahun saya sudah belajar main gamelan Bali. Di Batuan, Sukawati, sejak kanak-kanak, itu wajib bagi kami," ceritanya kepada Kompas.com. "Sampai sekarang, saya masih menekuninya," imbuhnya.

Ketika ia tumbuh jadi remaja lalu beranjak dewasa, seiring perubahan zaman, aku Balawan, tak pernah terpikir olehnya untuk meninggalkan gamelan Bali. Ia tetap setia kepada gamelan Bali, meskipun  pada umur delapan tahun ia mulai bergaul dengan gitar akustik, di usia 10 tahun sudah pandai bermain gitar elektrik, dan ketika berumur 12 tahun membentuk band yang membawakan lagu-lagu rock.

"Saya malah merasa prihatin. Gamelan Bali hanya dimainkan di lobi hotel, menjadi perhiasan, mengiringi bule-bule yang sedang makan, bayaran untuk para pemainnya kecil. Jadi, anak-anak muda Bali memilih sekolah pariwisata untuk bisa bekerja dengan bayaran yang tinggi daripada menekuni gamelan Bali," tuturnya. "Saya malah berpikir, ke depan orang-orang Bali harus semakin tekun mendalami dan mengembangkan musik tradisional dan gamelan Bali dan ada orang-orang yang betul-betul mengangkat para pemainnya, menunjukkan kepada dunia luar bahwa mereka layak dibayar mahal, gimana membuat mereka bisa hidup dari musik tradisional," sambungnya.

Pergaulan Balawan dengan gitar dan musik modern--jazz, pop, rock, dan blues--kemudian justru mendorongnya untuk mengangkat musik tradisional Bali, khususnya gamelan Bali, dengan caranya sendiri.

***
Balawan mulai tertarik kepada gitar ketika ia berumur delapan tahun, karena kakak tertuanya, perempuan, suka bermain gitar akustik di rumah. Ia lalu mempelajarinya sendiri dengan menggunakan gitar kakaknya itu. "Lagu pertama yang saya bisa, 'Bermain layang-layang', lagu anak," kenang anak kelima ini, yang kemudian dibelikan gitar oleh ayahnya.

Bermain gitar elektrik pun kemudian dipelajarinya sendiri sejak ia berusia 10 tahun. Ia lalu membentuk band ketika duduk di kelas 6 SD. "Nama band kami Maxel. Ngawur aja milih nama itu, dari merk pita kaset, biar gampang diingat," kisahnya. "Kami membawakan lagu-lagu Scorpions, kayak 'Always Somewhere'. Kami manggung di banjar, seperti RT/RW, di ulang tahun perkumpulan pemuda, acara tujuh belasan, enggak dibayar," sambungnya. "Waktu SMP, lebih ke Deep Purple dan Van Halen. Kami ikut tur di Bali, delapan kota," kisahnya lagi. "Kami nge-band sampai SMA. Tamat SMA, kami bubar. Dari situ, sekarang ada yang jadi DJ, kontraktor," imbuhnya.

Karena minat musiknya, pada 1993 Balawan dikuliahkan oleh ayahnya ke Australian Institute of  Music di Sydney. "Tadinya bapak saya mau nyekolahin saya ke Hollywood. Waktu itu masih relatif murah biayanya. Dollar masih 1.500 rupiah, rupiah masih kuat, bisnis di Bali lagi maju-majunya. Tapi, rencana itu enggak jadi. Hollywood kejauhan, kata bapak saya," kenangnya lagi.

Di Australian Institute of Music, sesudah berkuliah setahun dan dinilai bagus, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya tiga tahun. Pada 1997 ia meraih diploma musik dan kembali ke Batuan.

Melanjutkan cita-cita lamanya, mengangkat musik tradisional Bali, khususnya gamelan Bali, ia membangun Sanggar Batuan Ethnic. "Anak-anak muda di kampung sering saya ajak manggung, biar dapat pengalaman, kesempatan tampil di tempat-tempat lain, bukan di hotel dan waktu upacara tradisional saja," tuturnya.

Ia juga membentuk Batuan Ethnic Fusion, grup yang memadukan permainan gamelan Bali dengan musik modern, khususnya jazz. Dengan konsepnya tersebut, ia berusaha mewujudkan misinya untuk mengembangkan dan mengenalkan musik tradisional Bali, khususnya gamelan Bali, kepada berbagai kalangan, termasuk kepada orang-orang Bali sendiri. "Saya terus mencari kiat untuk mengedepankan musik tradisional Bali. Musik tradisional Bali bisa berpadu dengan musik modern, benar-benar nge-blend, bukan cuma tempelan. Maratabat gamelan Bali sama dengan martabat gitar. Ada master gitar, ada juga master gamelan," tekan Ketua Bali Guitar Club ini.

Hingga kini Batuan Ethnic Fusion masih menggelinding, bahkan sudah sampai ke Eropa, Australia, Jepang, China, dan Hongkong. Dari akhir Februari hingga akhir Maret 2011, sebagai trio Batuan Ethnic Fusion, Balawan bersama dua pemain andal gamelan Bali, I Nyoman Suwida dan I Nyoman Suarsana, manggung dan memberi workshop di AS.

***
Di mana pun berada, boleh dibilang, Balawan, yang sebagai gitaris terkenal dengan teknik tapping (memainkan gitar seperti memainkan piano) dan gitar elektrik double neck, berusaha untuk tetap dengan misinya tersebut. Demikian pula dalam industri musik rekaman.

Enam album dilahirkannya. Ada yang bersama Batuan Ethnic Fusion, ada pula yang bersama pemusik-pemusik kenamaan lainnya. Album-album itu adalah GloBALIsm (1999), Balawan (2001, dirilis di Jerman), Magic Fingers (2005), Trisum (2007, trio bersama dua gitaris terdepan lainnya, I Dewa Gede Budjana dan Tohpati Ario Hutomo), See You Soon (2009), dan Trisum: Five in One (2011, bersama Budjana, Tohpati, pemain bas Indro Harjodikoro dan drummer Echa).

Ungkap balawan, dalam album-album solonya ia diberi kesempatan oleh produser eksekutif perusahaan rekaman yang mengontraknya untuk tetap memasukkan musik etnik Bali. "Enggak apa-apa main pop, tapi saya tetap ingin meracuni pembeli musik Indonesia dengan musik etnik Bali. Ternyata, manjur sekali. Sejak 2005 (album Magic Fingers-nya), lebih banyak lagi yang kenal musik saya. Dari situ mereka cari album-album lama saya," ujarnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar